Beberapa
jam memang sudah terlihat kondisi ayah yang sudah membaik, cairan infuse yang
kemarin berdiri disamping beliau kini perlahan dicabut oleh wanita baik
berpakaian putih yang selalu menemani ayahku jika waktuku tak memugkinkan untuk
menemaninya. Yaah sudah cukup lama ayah menempati ruangan ini, rasanya sudah
sangat sering aku mendengar keluh kesah ayah yang tak henti membisikanku kata
bosan. sebelum kuhantarkan ayah keluar kamar, ku kecup kening beliau, memegang
erat tangannya, ku perhatikan gambaran wajahnya ku usap wajahnya dari sedikit
keringat itu. Amat hangat ku perlihatkan rasa sayangku kepada ayah. Sebelumnya
ku ucapkan sambutan hangat kepada para suster dan dokter yang mendatangi
ruangan ayah pagi ini, ini adalah hari terakhir ayah disini, beliau perlihatkan
senyum merekahnya dihadapan mereka dan menunduk mungkin itu adalah salah satu
caranya untuk mengucapkan kata terima kasih kepada orang-orang yang berbaik
hati merawatnya 3 bulan belakangan ini.
Ku
bukakan pintu kamar ayah, dan kudorong kursi roda ayah lalu kamipun berlalu
oleh para perawat dan dokter tadi. Humm lega itu yang aku rasakan saat ini amat
sangat lega ketika melihat ayah bisa kembali menghirup udara luar dari rumah
sakit. Rindu belaian ayah ketika sesampai dirumah, rindu hidangan ayah, rindu
nasehat dan tingkah lucu ayah. Yah aku hidup bersama dengan ayah selama 17
tahun. Rumah bekas kakek dan nenek sekarang menjadi tampat hunian aku bersama
ayah, tanpa sosok ibu yang selalu menjadi kerinduan aku sejak aku masih kecil.
Mengingat memori itu buatku hanya membuat ayah marah terhadapku, aku tak sempat
diceritakan siapa sosok wanita yang telah berusaha melahirkanku hingga detik
ini. Ayah seolah bungkam dan menatap tajam ketika coba aku buka pembicaraan
mengenai sosok ibu. Masih ku ingat kajadian yang membuat ayah sangat marah, waktu
itu aku disuruh oleh pihak sekolah untuk membawa wali murid perempuan untuk
menghadiri acara workshop yang diadakan oleh diskes kab.Malang disekolahku. Aku
tak sengaja menyimpan undangan itu di depan tivi, aku sangat lelah sepulang
sekolah itu, tas ranselkupun tak sempat aku bereskan lalu ku rehat sebentar
sembari menyalakan televisi dan tak sempat beberapa menit ayah ternyata pulang.
Ayah berdiri didepanku memegang undangan tadi, sudah terbaca rupanya ayah masuk
kekamar dan mengunci pintu tanpa berkata apa-apa. Aku merespon apa maksud
tatapan dan ekspresi ayah satu menit yang lalu. Ku coba mereka dan akhirnya ku
ceritakan kejadian itu kepada Bibi Tesi, dia adalah tetangga sebelah rumah kami
dia sangat baik terhadap kami. Ayahku sempat dekat dengan Bibi tesi waktu
umurku 8 tahun, namun 2 tahun kemudian Bibi tesi ahirnya di lamar oleh
laki-laki yang dijodohkan oleh kedua orangtuannya. Aku sempat merasakan betapa
terlukanya ayah mengetahui kabar itu. Ayah sempat merencanakan untuk pindah
rumah, namun kebetulan waktu itu ekonomi ayah tidak memungkinkan untuk itu.
Sempat ayah menyuruhku untuk tidak mendekati Bibi Tesi lagi, apalagi sekarang
ketika bibi tesi sudah memiliki buah hati bernama Billi yang sekarang sudah berumur
4 tahun. Yah aku sangat menghargai pendapat dan sikap ayah, aku tak sempat
menyelipkan pendapat karena ayah selalu meyanggah. Hari itu BELLA seringku disapa oleh Bibi Tesi,
mengajakku untuk menemaninya kepasar, Billi dititipkan ke Om Sarbi sapaanku kepada
suami Bibi Tesi. Sore itu memang aku tidak sempat meminta izin kepada Ayah
karena ayah sedang berada di Toko roti kepunyaan Pak Edi. Ayah memang sudah 3
tahun bekerja di toko roti punya ayahnya temanku Si Erdri. Yaah dia adalah
sahabat baikku belakangan ini, aku bertemu dengannya dijalan ketika aku sedang
berjualan kue di perumahan sekitar kampong rumahku. Waktu itu memang sudah
larut malam, aku menjajakan kue dari pagi sampai malam hanya untuk membeli baju
seragam sekolah sewaktu lulus SMP. Aku amat sangat menginginkan masuk disekolah
kenamaan di kotaku itu, ditemanin oleh bibi Tesi ku beranikan diri untuk
menginjakan diri mendaftar ke sokolah itu tanpa sepengetahuan ayah. Saat itu
ayah dan bibi Tesi memang sudah lama menjauh sejak masalah yang kemarin itu.
Sebenarnya aku sangat takut seandainya ayah mengetahui aku mendaftarkan diri ke
sekolah tersebut, apalagi tidak seizin dan sepengetahuannya. Bibi tesi memang
sudah lama mengetahui keinginanku itu untuk bisa masuk ke SMA itu, tapi ketika
ayah mendengarkan dialog kami ayah selalu menampakkan wajah yang tidak suka,
menggerakan tangan dengan bahasa isyarat yang mungkin hanya aku dan bibi Tesi
yang tau apa maksud lontarannya itu. Ku coba lalui dan memberontak selama
semalaman di dalam kamar, merenung dan mencoba menggerutu dalam malam sembari
kubuka jendela kamar dan ku titipkan pintaku untuk bintang agar satu tahun lagi
keinginanku untuk masuk ke SMA Bintara terpenuhi dan ayah bisa bangga
terhadapku. Salah satu alsan yang bisa ku ketahui dari sikap ayah adalah SMA
itu tidak pantas untukku, karena memang aku sudah dilahirkan dari keluarga yang
tanpa ibu dan berkehidupan selayaknya hanya untuk makan dan hanya sanggup
disekolahan swasta saja. Bibi Tesi sangat amat menyesali alasan ayah, dia
adalah ibu yang selama ini aku cari, pengharapan memiliki seorang ibu seperti
bibi Tesi sangat amat aku harapakan semenjak aku tidak memiliki ibu. Yaa, yang
aku tau bibi tesi adalah sahabat dekat ayah semenjak muda, dia adalah teman smp
ayah dan teman seperantauan ayah di Malang selama kuliah. Dan bisa dikatakan
bibi tesi adalah teman ayah yang paling pintar dan amat jago sekali masak.
Pernah ku coba untuk menanyakan seperihal masalah siapa ibu biologisku terhadap
bibi tesi, namun tak sempat terjawab mulut bibi tesi terbungkam karena sosok
ayah sudah siap berdiri didepan pintu. Entahlah aku merasa ayahku sudah
menyembunyikan sesuatu hal yang amat penting terhadapku. Entah kebohongan atau
rahasia apa yang terselubung.
Hari
dimana pengumuman tes kelulusan Murid baru SMA Bintara, aku bergegas menuruni
angkot ku ulurkan uang 2000 rupiah dari kantong depan baju seragamku yang ku
beli dari hasil uang jajakan roti 2 hari yang lalu. Ayah memang masih belum
tau, aku masih ingin merahasiakannya dan hanya bibi tesi dan suaminya yang tau.
Ke gegaskan diri berdiri didepan gerbang sekolah itu, ku hirup aroma
lingkungannya dan berpinta semoga harapannku 2 malam yang lalu tercapai. Akupun
menghampiri kerumunan barisan anak
perempuan yang tengah berdiri dilapangan tengah sekolah tersebut. Sedang bibi
tesi mencari tempat duduk yang sekiranya teduh dan sejangkaunya bisa melihat
dan menyemangatiku siang itu. Ku coba
menenangkan diri dan berdiam diri di tengah kerumunan murid lain karena aku
amat susah berinteraksi. Ku tenangkan diri dan ku dengar sekali panggilan itu,
semakin lama semakin menghampiri gendang telingaku dan terkagetkan diri. Aku
berusaha tenang dan ternyata ardri anak laki-laki yang membeli kue ku malam
kemarin ada dihadapanku. Yaah dia sekarang ada disampingku, memegang bahu
kiriku erat dengan tangan kanannya. “Belaaaaa!!!” begitu aku dipanggil olehnya,
murid lain yang ada disekitarku pun terdiam beberapa saat ketika ardri
meneriakiku, haha amat lucu jika ku lihat ekspresi ardri kala itu. Senyum manis
dan lucu, baru kulihat Nampak senatural yang belum pernah kulihat di orang
lain. Issh~ lamunanku berlalu aku mengobrol dengannya sembari di amati oleh
bibi tesi di bawah pohon itu. Ardri adalah laki-laki yang menolongku malam itu,
yah karena dia aku bisa membeli seragam ini. Ceritanya cukup panjang, kebetulan
aku berjalan didepan kawasan rumah dia, kebetulan dia baru pulang dari acara
keluarga lontarnya, suaraku lumayan lantang malam itu menjajaki kue hasil
buatan bibi tesi dan aku. Kutawarkan
padanya kue ini lalu diborongnya dan membayarnya dengan harga yang tidak
pantas. Malam itu aku memang agak ragu terhadap ardri, tampilannya aneh malam
itu sok rapi dengan potongan rambut layaknya anak laki-laki dewasa, ku coba
meremehkan setiap ucapan dia yang ingin membeli jualanku, namun ku indahkan
karena memang aku amat sangat membutuhkan pembeli untuk malam ini. Ku hampiri
ardri dan kalimat pertama yang terucap dari bibir ardri ialah “kok malam-malam
gini masih jualan kak?” agak ilfiel aku mendengarkan kalimat laki-laki ini, ku
jawab saja dengan nada gusar, “ mau beli atau tidak ?” begitu jawabku. Begitu
cuek aku menjawab dialog yang ardri lontarkan. Namun lama kelamaan ardri
ternyata baik, entahlah apa karena dia mau membeli kue ku atau tidak, yang
jelas ada ucapan manis yang membuatku terenyuh, “ sudah malam, kenapa masih
jualan? Lebih baik pulang saja dan biarkan aku saja yang memborongnya”, awalnya
tak ku gubris omongan ardri, namun dia mengambil plastic dari keranjangku dan
mengambil semua kue yang dari tadi sore baru terjual 2 kue seharga 2 rbu
rupiah. Ku coba untuk melawan karena ketakutan, tapi dia menyuruhku bangun dan
malah membantuku mengangkat keranjang yang kini sudah tidak berisi kue itu lalu
menanyakan berapa harga semuanya?. Ku jawab masih dengan nada cetus,” 45 ribu
saja biar ku diskon 5 ribu untukmu” kutatap kelakuannya dan dia ulurukan uang
yang ia keluarkan dari dompet silver yang dia keluarkan dari saku celana levis
panjangnya malam itu. Ku pikir lalu ku terima dan ku hitung uang yang ardri
berikan, ada warna merah terselip ternyata, ya 100 ribu terselip diantara uang 45
ribu itu dan ku beri tahu namun dia sudah tidak tampak didepan mataku, dia
tersenyum ketika ku coba mencari sosoknya, ternyata dia sudah ada di depan
pintu rumahnya dan berkata, “ terima kasih kuenya, anggap sebagai rasa terima
kasihku” lontaran yang cukup membuatku teramat senang dan malu karena
kelakuanku tadi terhadapnya. Senyumku mengantarkanku pergi meninggalkan rumah
ardri dan jauh dari jangkauan rumah ardri.
Malam
itu pukul 8 lewat 12 menit ku menginjakan teras rumah, semoga ayah belum pulang
dan pintu masih di kunci. Ku coba menarik ganggang pintu, terasa ringan dan
terbukaa, kreekk nyawa sudah di kandung badan. Ayah sudah pulang dan entah kata
apa yang bisa ku jelaskan kepada ayah malam ini. Ya horden kamar ayah dibuka
sudah jelas itu pasti ayah yang sudah mendengar kalau aku baru pulang. Ku coba
menangkan diri lalu ketelan ludah yang sudah ku siapkan setelah ku tahu ayah
sudah pulang. Muka ayah merah tentu mala mini aku akan dimarahi dan aku mungkin
akan di kurung dan bahkan mungkin kalau dia tau aku berjualan kue demi membeli
seragam sekolah tentu ayah akan marah besar terhadapku. Ya tuhan gumamku dalam
hati, ketukatan yang memuncak sudah ku rasakan sejak ku dapati uang dari ardri
tadi, tentu ayah tidak akan membiarkan aku mengambil uang lebih dari orang lain
apalagi itu adalah orang yang belum aku kenal sama. Di suruhnya aku duduk di
kursi plastic berwarna hijau itu, dibiarkan aku manarik nafas dan disuruhnya
menjelaskan semua yang terjadi malam ini. Ku siapkan tenaga ku untuk mencoba
menceritakan sejujur-jujurnya seperti menelan pel dokter ku ceritakan dari awal
sampai akhir semua yang aku kerjakan malam ini, amat pahit dan marah mendengar
ceritaku, aku tentu sudah tau hal apa yang akan aku dapatkan kalau mencoba
menutupi masalah kepada ayah, dari kecil aku memang sudah terbiasa dengan ayah
bercerita masalah apapun dengan ayah, yaa tentu ini adalah masalah besar buat
ayah, susah payahnya dia mendidik aku ternyata didikannya tidak mengenaiku, aku
amat merasakan kepedihan ayah tidak mampu menjelaskan secara gamblang apa isi
hatinya, bukan hanya itu aku juga ingin melihat ayah semarah-marahnya dengan
suara lantangnya memarahiku malam ini. Amat sangat ingin mendengarkannya tapi hanya
bahasa isyarat yang bisa beliau ekspresikan untukku malam ini, gerakan yang
mungkin sudah sering ku lihat jika beliau sedang marah terhadapku. Ayahku
adalah seorang tuna rungu, melindungiku semenjak kecil dari omelan orang dengan
gerakannya saja, berbicara denganku dengan senyuman. Aku amat sangat paham apa
yang sedang ayah rasakan malam ini, ku coba jelaskan namun air mata ayah
menetes..
“ayah,
?” itu kalimat awalku saat ku lihat air
mata beliau menetes dan cepat ia hilangkan namun masih bisa ku lihat bekasan
tetesan itu.. itu adalah air mata berharga buatku, aku sangat berdosa malam
itu. Keheningan dan kuhampiri ayahku ku peluk ayah dan kuhapus air mata ayah.,
Aku amat sadar apa yang baru saja ayah sampaikan kepadaku, nasehat yang dia
sampaikan ternyat tidak jauh dari masa lalu yang memhampiri ayah, dan itu
adalah ibu. Ayah memang tidak pernah mengenalkanku sosok ibu kepadaku, ibu yang
selama ini mengandungku. Tak pernah sama sekali dia memperlihatkan bingkai
wajah seoarang wanita kepadaku bahkan panggilannya pun tak pernah ia ceritakan
hingga aku berumur 17 tahun ini. Haru tak bisaku tak tahan malam itu, bergeming
sejenak dan tak bisa berkata apapun ingin
menghindar rasanya dari pembicaraan ini. Ku peluk laki-laki tua itu, kuhadapkan
tatapanku kearah wanita dibalik pintu utama itu, berbisiknya dengan suara
isyarat, dimasuknya kedalam suasana malam itu. Aku tak sanggup menahan dera
tangis, seketika meluap tetesan airmata. Diusapnya air dipipiku, ya wanita itu
bibi tesi. Masuk kerumah kami malam itu tanpa sepenggal kata, gerah rasanya
sudah lama didekapan ayah, ku coba melepaskan pelukan itu dan bibi dan ayahpun
duduk bersampingan. Aku masih berdiri dan ku lalui mereka karena aku tak ingin
mendengar percakapan mereka malam itu. Ku hembuskan nafasku dibalik tirai ruang
tengah, kuraih gelas kososng dan ku isikan dengan air lalu terselamatkanlah
kerongkongan keringku. Entah apasaja yang ayah dan bibi tesi bicarakan, namun
ada perdebatan hangat rasaku, aku tak tega melihat bibi tesi itu mendapat getah
dari ambisi sesatku itu. Ku buka sedikit tirai tempat aku berdiri itu lalu ku
pahami maksud percakapan itu., dan kembali menetess.. doaarr!! Adakah petir
diluar sana semacam ada getukan yang amat keras yang amat menembus dinding yang
amat kosong selama 17 tahun ini. Yaah ku sadar..
Aku
adalah anak dari seorang pelacur,!! Tuhaan, kenapa baru sekarang ayah meberi
tahu aku ? bahkan dia tidak sempat berbicara langsung didepan aku, ayah berkata
dengan bibi tesi, orang yang tidak mengalami nasib sepertiku. Rahasia ini
gemparan buatku, tertindih entah aku harus bisa percaya atau tidak entah aku
harus abaikan ucapan ayah atau tidak, apa ayah berbohong atau tidak ? aku sama
sekali tidak paham apa-apa L
sekarang aku tahu! Terima kasih karena dengan ini Ayah mau membuka cerita
tentang ibu, itu yang biasa aku panjatkan setiap saat kepada Tuhan. Dari ini
aku membungkam dan kembali menutup tirai pintu itu dan ku usap air mataku..
To be continue..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar