Senin, 17 Februari 2014

"Hari ini, Ayah pulang"



Beberapa jam memang sudah terlihat kondisi ayah yang sudah membaik, cairan infuse yang kemarin berdiri disamping beliau kini perlahan dicabut oleh wanita baik berpakaian putih yang selalu menemani ayahku jika waktuku tak memugkinkan untuk menemaninya. Yaah sudah cukup lama ayah menempati ruangan ini, rasanya sudah sangat sering aku mendengar keluh kesah ayah yang tak henti membisikanku kata bosan. sebelum kuhantarkan ayah keluar kamar, ku kecup kening beliau, memegang erat tangannya, ku perhatikan gambaran wajahnya ku usap wajahnya dari sedikit keringat itu. Amat hangat ku perlihatkan rasa sayangku kepada ayah. Sebelumnya ku ucapkan sambutan hangat kepada para suster dan dokter yang mendatangi ruangan ayah pagi ini, ini adalah hari terakhir ayah disini, beliau perlihatkan senyum merekahnya dihadapan mereka dan menunduk mungkin itu adalah salah satu caranya untuk mengucapkan kata terima kasih kepada orang-orang yang berbaik hati merawatnya 3 bulan belakangan ini.
Ku bukakan pintu kamar ayah, dan kudorong kursi roda ayah lalu kamipun berlalu oleh para perawat dan dokter tadi. Humm lega itu yang aku rasakan saat ini amat sangat lega ketika melihat ayah bisa kembali menghirup udara luar dari rumah sakit. Rindu belaian ayah ketika sesampai dirumah, rindu hidangan ayah, rindu nasehat dan tingkah lucu ayah. Yah aku hidup bersama dengan ayah selama 17 tahun. Rumah bekas kakek dan nenek sekarang menjadi tampat hunian aku bersama ayah, tanpa sosok ibu yang selalu menjadi kerinduan aku sejak aku masih kecil. Mengingat memori itu buatku hanya membuat ayah marah terhadapku, aku tak sempat diceritakan siapa sosok wanita yang telah berusaha melahirkanku hingga detik ini. Ayah seolah bungkam dan menatap tajam ketika coba aku buka pembicaraan mengenai sosok ibu. Masih ku ingat kajadian yang membuat ayah sangat marah, waktu itu aku disuruh oleh pihak sekolah untuk membawa wali murid perempuan untuk menghadiri acara workshop yang diadakan oleh diskes kab.Malang disekolahku. Aku tak sengaja menyimpan undangan itu di depan tivi, aku sangat lelah sepulang sekolah itu, tas ranselkupun tak sempat aku bereskan lalu ku rehat sebentar sembari menyalakan televisi dan tak sempat beberapa menit ayah ternyata pulang. Ayah berdiri didepanku memegang undangan tadi, sudah terbaca rupanya ayah masuk kekamar dan mengunci pintu tanpa berkata apa-apa. Aku merespon apa maksud tatapan dan ekspresi ayah satu menit yang lalu. Ku coba mereka dan akhirnya ku ceritakan kejadian itu kepada Bibi Tesi, dia adalah tetangga sebelah rumah kami dia sangat baik terhadap kami. Ayahku sempat dekat dengan Bibi tesi waktu umurku 8 tahun, namun 2 tahun kemudian Bibi tesi ahirnya di lamar oleh laki-laki yang dijodohkan oleh kedua orangtuannya. Aku sempat merasakan betapa terlukanya ayah mengetahui kabar itu. Ayah sempat merencanakan untuk pindah rumah, namun kebetulan waktu itu ekonomi ayah tidak memungkinkan untuk itu. Sempat ayah menyuruhku untuk tidak mendekati Bibi Tesi lagi, apalagi sekarang ketika bibi tesi sudah memiliki buah hati bernama Billi yang sekarang sudah berumur 4 tahun. Yah aku sangat menghargai pendapat dan sikap ayah, aku tak sempat menyelipkan pendapat karena ayah selalu meyanggah. Hari  itu BELLA seringku disapa oleh Bibi Tesi, mengajakku untuk menemaninya kepasar, Billi dititipkan ke Om Sarbi sapaanku kepada suami Bibi Tesi. Sore itu memang aku tidak sempat meminta izin kepada Ayah karena ayah sedang berada di Toko roti kepunyaan Pak Edi. Ayah memang sudah 3 tahun bekerja di toko roti punya ayahnya temanku Si Erdri. Yaah dia adalah sahabat baikku belakangan ini, aku bertemu dengannya dijalan ketika aku sedang berjualan kue di perumahan sekitar kampong rumahku. Waktu itu memang sudah larut malam, aku menjajakan kue dari pagi sampai malam hanya untuk membeli baju seragam sekolah sewaktu lulus SMP. Aku amat sangat menginginkan masuk disekolah kenamaan di kotaku itu, ditemanin oleh bibi Tesi ku beranikan diri untuk menginjakan diri mendaftar ke sokolah itu tanpa sepengetahuan ayah. Saat itu ayah dan bibi Tesi memang sudah lama menjauh sejak masalah yang kemarin itu. Sebenarnya aku sangat takut seandainya ayah mengetahui aku mendaftarkan diri ke sekolah tersebut, apalagi tidak seizin dan sepengetahuannya. Bibi tesi memang sudah lama mengetahui keinginanku itu untuk bisa masuk ke SMA itu, tapi ketika ayah mendengarkan dialog kami ayah selalu menampakkan wajah yang tidak suka, menggerakan tangan dengan bahasa isyarat yang mungkin hanya aku dan bibi Tesi yang tau apa maksud lontarannya itu. Ku coba lalui dan memberontak selama semalaman di dalam kamar, merenung dan mencoba menggerutu dalam malam sembari kubuka jendela kamar dan ku titipkan pintaku untuk bintang agar satu tahun lagi keinginanku untuk masuk ke SMA Bintara terpenuhi dan ayah bisa bangga terhadapku. Salah satu alsan yang bisa ku ketahui dari sikap ayah adalah SMA itu tidak pantas untukku, karena memang aku sudah dilahirkan dari keluarga yang tanpa ibu dan berkehidupan selayaknya hanya untuk makan dan hanya sanggup disekolahan swasta saja. Bibi Tesi sangat amat menyesali alasan ayah, dia adalah ibu yang selama ini aku cari, pengharapan memiliki seorang ibu seperti bibi Tesi sangat amat aku harapakan semenjak aku tidak memiliki ibu. Yaa, yang aku tau bibi tesi adalah sahabat dekat ayah semenjak muda, dia adalah teman smp ayah dan teman seperantauan ayah di Malang selama kuliah. Dan bisa dikatakan bibi tesi adalah teman ayah yang paling pintar dan amat jago sekali masak. Pernah ku coba untuk menanyakan seperihal masalah siapa ibu biologisku terhadap bibi tesi, namun tak sempat terjawab mulut bibi tesi terbungkam karena sosok ayah sudah siap berdiri didepan pintu. Entahlah aku merasa ayahku sudah menyembunyikan sesuatu hal yang amat penting terhadapku. Entah kebohongan atau rahasia apa yang terselubung.
Hari dimana pengumuman tes kelulusan Murid baru SMA Bintara, aku bergegas menuruni angkot ku ulurkan uang 2000 rupiah dari kantong depan baju seragamku yang ku beli dari hasil uang jajakan roti 2 hari yang lalu. Ayah memang masih belum tau, aku masih ingin merahasiakannya dan hanya bibi tesi dan suaminya yang tau. Ke gegaskan diri berdiri didepan gerbang sekolah itu, ku hirup aroma lingkungannya dan berpinta semoga harapannku 2 malam yang lalu tercapai. Akupun menghampiri kerumunan barisan  anak perempuan yang tengah berdiri dilapangan tengah sekolah tersebut. Sedang bibi tesi mencari tempat duduk yang sekiranya teduh dan sejangkaunya bisa melihat dan menyemangatiku siang itu.  Ku coba menenangkan diri dan berdiam diri di tengah kerumunan murid lain karena aku amat susah berinteraksi. Ku tenangkan diri dan ku dengar sekali panggilan itu, semakin lama semakin menghampiri gendang telingaku dan terkagetkan diri. Aku berusaha tenang dan ternyata ardri anak laki-laki yang membeli kue ku malam kemarin ada dihadapanku. Yaah dia sekarang ada disampingku, memegang bahu kiriku erat dengan tangan kanannya. “Belaaaaa!!!” begitu aku dipanggil olehnya, murid lain yang ada disekitarku pun terdiam beberapa saat ketika ardri meneriakiku, haha amat lucu jika ku lihat ekspresi ardri kala itu. Senyum manis dan lucu, baru kulihat Nampak senatural yang belum pernah kulihat di orang lain. Issh~ lamunanku berlalu aku mengobrol dengannya sembari di amati oleh bibi tesi di bawah pohon itu. Ardri adalah laki-laki yang menolongku malam itu, yah karena dia aku bisa membeli seragam ini. Ceritanya cukup panjang, kebetulan aku berjalan didepan kawasan rumah dia, kebetulan dia baru pulang dari acara keluarga lontarnya, suaraku lumayan lantang malam itu menjajaki kue hasil buatan bibi tesi dan aku.  Kutawarkan padanya kue ini lalu diborongnya dan membayarnya dengan harga yang tidak pantas. Malam itu aku memang agak ragu terhadap ardri, tampilannya aneh malam itu sok rapi dengan potongan rambut layaknya anak laki-laki dewasa, ku coba meremehkan setiap ucapan dia yang ingin membeli jualanku, namun ku indahkan karena memang aku amat sangat membutuhkan pembeli untuk malam ini. Ku hampiri ardri dan kalimat pertama yang terucap dari bibir ardri ialah “kok malam-malam gini masih jualan kak?” agak ilfiel aku mendengarkan kalimat laki-laki ini, ku jawab saja dengan nada gusar, “ mau beli atau tidak ?” begitu jawabku. Begitu cuek aku menjawab dialog yang ardri lontarkan. Namun lama kelamaan ardri ternyata baik, entahlah apa karena dia mau membeli kue ku atau tidak, yang jelas ada ucapan manis yang membuatku terenyuh, “ sudah malam, kenapa masih jualan? Lebih baik pulang saja dan biarkan aku saja yang memborongnya”, awalnya tak ku gubris omongan ardri, namun dia mengambil plastic dari keranjangku dan mengambil semua kue yang dari tadi sore baru terjual 2 kue seharga 2 rbu rupiah. Ku coba untuk melawan karena ketakutan, tapi dia menyuruhku bangun dan malah membantuku mengangkat keranjang yang kini sudah tidak berisi kue itu lalu menanyakan berapa harga semuanya?. Ku jawab masih dengan nada cetus,” 45 ribu saja biar ku diskon 5 ribu untukmu” kutatap kelakuannya dan dia ulurukan uang yang ia keluarkan dari dompet silver yang dia keluarkan dari saku celana levis panjangnya malam itu. Ku pikir lalu ku terima dan ku hitung uang yang ardri berikan, ada warna merah terselip ternyata, ya 100 ribu terselip diantara uang 45 ribu itu dan ku beri tahu namun dia sudah tidak tampak didepan mataku, dia tersenyum ketika ku coba mencari sosoknya, ternyata dia sudah ada di depan pintu rumahnya dan berkata, “ terima kasih kuenya, anggap sebagai rasa terima kasihku” lontaran yang cukup membuatku teramat senang dan malu karena kelakuanku tadi terhadapnya. Senyumku mengantarkanku pergi meninggalkan rumah ardri dan jauh dari jangkauan rumah ardri.

Malam itu pukul 8 lewat 12 menit ku menginjakan teras rumah, semoga ayah belum pulang dan pintu masih di kunci. Ku coba menarik ganggang pintu, terasa ringan dan terbukaa, kreekk nyawa sudah di kandung badan. Ayah sudah pulang dan entah kata apa yang bisa ku jelaskan kepada ayah malam ini. Ya horden kamar ayah dibuka sudah jelas itu pasti ayah yang sudah mendengar kalau aku baru pulang. Ku coba menangkan diri lalu ketelan ludah yang sudah ku siapkan setelah ku tahu ayah sudah pulang. Muka ayah merah tentu mala mini aku akan dimarahi dan aku mungkin akan di kurung dan bahkan mungkin kalau dia tau aku berjualan kue demi membeli seragam sekolah tentu ayah akan marah besar terhadapku. Ya tuhan gumamku dalam hati, ketukatan yang memuncak sudah ku rasakan sejak ku dapati uang dari ardri tadi, tentu ayah tidak akan membiarkan aku mengambil uang lebih dari orang lain apalagi itu adalah orang yang belum aku kenal sama. Di suruhnya aku duduk di kursi plastic berwarna hijau itu, dibiarkan aku manarik nafas dan disuruhnya menjelaskan semua yang terjadi malam ini. Ku siapkan tenaga ku untuk mencoba menceritakan sejujur-jujurnya seperti menelan pel dokter ku ceritakan dari awal sampai akhir semua yang aku kerjakan malam ini, amat pahit dan marah mendengar ceritaku, aku tentu sudah tau hal apa yang akan aku dapatkan kalau mencoba menutupi masalah kepada ayah, dari kecil aku memang sudah terbiasa dengan ayah bercerita masalah apapun dengan ayah, yaa tentu ini adalah masalah besar buat ayah, susah payahnya dia mendidik aku ternyata didikannya tidak mengenaiku, aku amat merasakan kepedihan ayah tidak mampu menjelaskan secara gamblang apa isi hatinya, bukan hanya itu aku juga ingin melihat ayah semarah-marahnya dengan suara lantangnya memarahiku malam ini. Amat sangat ingin mendengarkannya tapi hanya bahasa isyarat yang bisa beliau ekspresikan untukku malam ini, gerakan yang mungkin sudah sering ku lihat jika beliau sedang marah terhadapku. Ayahku adalah seorang tuna rungu, melindungiku semenjak kecil dari omelan orang dengan gerakannya saja, berbicara denganku dengan senyuman. Aku amat sangat paham apa yang sedang ayah rasakan malam ini, ku coba jelaskan namun air mata ayah menetes..
“ayah, ?” itu kalimat awalku  saat ku lihat air mata beliau menetes dan cepat ia hilangkan namun masih bisa ku lihat bekasan tetesan itu.. itu adalah air mata berharga buatku, aku sangat berdosa malam itu. Keheningan dan kuhampiri ayahku ku peluk ayah dan kuhapus air mata ayah., Aku amat sadar apa yang baru saja ayah sampaikan kepadaku, nasehat yang dia sampaikan ternyat tidak jauh dari masa lalu yang memhampiri ayah, dan itu adalah ibu. Ayah memang tidak pernah mengenalkanku sosok ibu kepadaku, ibu yang selama ini mengandungku. Tak pernah sama sekali dia memperlihatkan bingkai wajah seoarang wanita kepadaku bahkan panggilannya pun tak pernah ia ceritakan hingga aku berumur 17 tahun ini. Haru tak bisaku tak tahan malam itu, bergeming  sejenak dan tak bisa berkata apapun ingin menghindar rasanya dari pembicaraan ini. Ku peluk laki-laki tua itu, kuhadapkan tatapanku kearah wanita dibalik pintu utama itu, berbisiknya dengan suara isyarat, dimasuknya kedalam suasana malam itu. Aku tak sanggup menahan dera tangis, seketika meluap tetesan airmata. Diusapnya air dipipiku, ya wanita itu bibi tesi. Masuk kerumah kami malam itu tanpa sepenggal kata, gerah rasanya sudah lama didekapan ayah, ku coba melepaskan pelukan itu dan bibi dan ayahpun duduk bersampingan. Aku masih berdiri dan ku lalui mereka karena aku tak ingin mendengar percakapan mereka malam itu. Ku hembuskan nafasku dibalik tirai ruang tengah, kuraih gelas kososng dan ku isikan dengan air lalu terselamatkanlah kerongkongan keringku. Entah apasaja yang ayah dan bibi tesi bicarakan, namun ada perdebatan hangat rasaku, aku tak tega melihat bibi tesi itu mendapat getah dari ambisi sesatku itu. Ku buka sedikit tirai tempat aku berdiri itu lalu ku pahami maksud percakapan itu., dan kembali menetess.. doaarr!! Adakah petir diluar sana semacam ada getukan yang amat keras yang amat menembus dinding yang amat kosong selama 17 tahun ini. Yaah ku sadar..
Aku adalah anak dari seorang pelacur,!! Tuhaan, kenapa baru sekarang ayah meberi tahu aku ? bahkan dia tidak sempat berbicara langsung didepan aku, ayah berkata dengan bibi tesi, orang yang tidak mengalami nasib sepertiku. Rahasia ini gemparan buatku, tertindih entah aku harus bisa percaya atau tidak entah aku harus abaikan ucapan ayah atau tidak, apa ayah berbohong atau tidak ? aku sama sekali tidak paham apa-apa L sekarang aku tahu! Terima kasih karena dengan ini Ayah mau membuka cerita tentang ibu, itu yang biasa aku panjatkan setiap saat kepada Tuhan. Dari ini aku membungkam dan kembali menutup tirai pintu itu dan ku usap air mataku..
To be continue..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar